Monday, May 18, 2009

Sebuah Kisah Awan : MalaikatIblisKu [Kisah 7]

Aku kelelahan. Peluh itu berlarian berjatuhan. Dunia tak pernah seindah impian.
Bibirku berdarah, merah.



Aku melihat sesosok malaikat terbang. Entah dimana aku kini. Malaikat itu bersinar putih dan bercahayakan terang. Air wajahnya cerah, buat hati tenang menatapnya. Ia terseringai indah saat aku mendalami matanya. Kobaran api serasa panas. Meliuk indah.

Aku melihat sesosok malaikat terbang. Entah dimana aku kini. Malaikat itu bersinar hitam dan bercahayakan gelap. Air wajahnya suram, buat hati galau menatapnya. Ia tersenyum iblis saat aku mendalami matanya. Dingin layaknya salju beku. Teronggok diam.


Aku tersentak dari mimpi indahku. Asam terasa di lidahku. Keringatku terus berpeluh ria. Angin sialan mendobrak masuk jendela kamarku.

Kepalan tanganku berdarah, tembok putih itupun berdarah. Emosi tertiba memuncak tinggi. Katanya, kalau lagi emosi, bisa sampai ke ubun-ubun. Tapi rasanya itu tidak berlaku bagiku. Karena emosiku selalu memuncak di kepalan tanganku dan bermuara di darah lukaku.

Bahkan airmata yang kupaksa turun ini enggan menampakkan wujudnya. Wajahku sedih, begitu kata cerminku. Jiwaku ringkih, begitu kata cerminku. Aku tidak butuh cermin ajaib untuk bisa menjawab siapa orang yang tercantik di dunia. Cerminku ini lebih hebat. Dia bisa menggambarkan dengan jelas wajahku saat aku menatapnya. Cerminku jujur, tidak seperti hatiku yang bahkan tega membohongiku.

Bibirku berdarah, merah. Kusuka rasanya.

Luka kembali menganga. Membuka jalan keluar darah. Gigiku menggigit kuat daging tipis bibirku. Aku ternganga, lukaku tercengang. Aku meringis, lukaku menangis. Aku tertawa, lukaku parah. Dan pecahan cermin jujur itu menusuk kepalan tanganku.



***


Siang hari. Pak Fajar memanggilku ke ruangannya. Ia bertanya tentang aku dan Vika. Aku terkejut, tapi gorilla tua itu menyeringai bangga. Ia mengatakan tertarik dengan Vika. Ia menginginkan Vika. Dan karena ia tahu betapa dekat hubunganku dengan Vika, ia memintaku untuk membantunya. Ia tidak tahu bahwa sudah dua kali purnama ini aku tidak bertemu Vika. Aku tersenyum getir, ia kembali menyeringai. Dan bau bangkai itu terseruak muncul.



Aku mendengus pelan, mencoba membuang sisa darah di hidungku.



Entah sudah yang kesekian kalinya aku menekan tombol di telepon genggamku. Nomor yang anda hubungi sedang sibuk atau berada di luar jangkauan area, silahkan hubungi beberapa saat lagi, kata suara wanita bernada robot itu terus menerus. Dan ketika di nada dering yang kesekian kalinya, suara wanita bernada robot itu berubah menjadi wanita yang aku kenal. Vika.


Kental dan merah, asin. Semakin lama, semakin sering, semakin yakin aku bahwa aku menyukai rasa darahku.


Dan Vika tersenyum iblis ketika menemuiku beberapa jam setelah pembicaraan kami melalui telepon. Dan seringai bidadari keluar sesaat sebelum dia kembali melumat bibirku, melampiaskan emosi yang sudah beberapa minggu ini tertahan. Setidaknya emosiku yang tertahan. Dia anggun dengan ketelanjangannya. Dia liar dengan keringatnya. Dia bidadariku saat melenguh. Dia iblis saat ku dijambaknya. Dia Malaikat Iblisku.


Berbicara. Berbincang. Telanjang. Di atas ranjang. Dalam remang. Menuju temaram.

Berbicara tentang kehilangan. Berbincang tentang rencana kita. Telanjang dalam pelukan malam. Bebas menggeliat di atas ranjang. Kecupan di dalam remang. Menutup malam menuju temaram.

Ia tersenyum ketika tahu Pak Fajar menginginkannya. Ia tertawa lepas saat aku bercerita tentang bagaimana gorilla tua itu berubah menjadi orangutan bodoh saat mengharap aku membantunya. Vika menggelitik telapak kakiku ketika aku mengecup keningnya. Pelukannya hangat. Sebuah bisikan pelan meluncur menuju lubang telinganya. Rencanaku berjalan sempurna. Vika lagi-lagi memelukku. Dan ketika aku tengah menikmati hangat selimut dan tubuhnya, air liur dan peluh kami kembali bercampur dalam mimpi indah.

foto oleh : doroii

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home