Monday, February 16, 2009

Sebuah Kisah Awan : Jejak Darah Masa Lalu [Kisah 4]

PRANG! Dan kaca wastafel itu pecah. Meninggalkan bercak darah. Meninggalkan jejak ketakutan di wajah. Meninggalkan bekas yang jelas di ingatan mereka. Tentang siapa Awan yang selama ini mereka kenal.



Siang itu sepanas hatiku saat itu. Kerimbunan itu kucari, tapi gersang yang kutemukan.

Aldo, jagoan kelas tiga di sekolah itu merasa dia hidup di dunianya sendiri. Atau mungkin lebih tepat kusebut jika dia seolah memiliki seluruh sekolah ini berserta isinya. Dan itu berarti termasuk aku. Awan, pencundang kelas dua yang bahkan dibenci oleh teman satu angkatanku. Sekolah ini termasuk sekolah unggulan, murid-muridnya rata-rata cerdas. Tapi tak sedikit juga yang tidak. Mereka yang tidak cerdas itu kebanyakan masuk sekolah ini karena orangtua mereka kaya. Merasa bisa membayar, mereka lantas menganggap bisa membayar untuk apa saja. Termasuk harga diriku.

Kancing paling atas kemejaku copot. Dan itu berarti pulang nanti aku harus menjahitnya sebelum ibu melihatnya. Dan dimulai dari drama kakak-kelas-yang-minta-dihormati-dan-adik-kelas-yang-pecundang, maka dimulai juga babak demi babak kehidupanku siang itu. Kantin, tempat biasa para murid bergumul bersama setelah beberapa jam bosan duduk diam di kelas, menatap buku, papan tulis serta mendengarkan kicauan guru. Dan di dekat kantin itulah, koperasi sekolah berada.

Aku berada di dalam koperasi itu untuk melunasi hutangku. Hahaha, kecil-kecil kok sudah punya hutang. Salah satu kehebatan sekolahku adalah bagaimana cara mereka memeras, menipu, dan memaksa muridnya untuk terus mengeluarkan uang tanpa terlihat menjijikkan dimata orang diluar lingkungan sekolah. Salah satunya adalah dengan penegakan peraturan yang berlebihan. Hari Senin, siswa yang tidak membawa topi, harus memakai topi untuk upacara bendera. Satu-satunya jalan, ya membeli di koperasi. Dan minggu lalu topi sialan itu tidak terbawa di tasku, sehingga itu berarti uang jajanku berkurang untuk membayar topi baru itu.

Setelah lunas urusan uang dengan penjaga koperasi itu, aku harus melewati kantin untuk kembali ke kelasku. Disanalah surgaku selama jam istirahat. Tenang, diam, dan tidur menahan lapar sendirian di tempat dudukku. Dan tampaknya Sang Sutradara sudah memulai adegan baru untukku, saat aku menyeberangi kantin, tiba-tiba kerah bajuku ditarik, dan putuslah kancing kemejaku itu. Saat ku menengok ke belakang, wajah menyeringai Aldo telah menanti. Katanya aku menendang kakinya saat lewat. HEI, bahkan aku tak tahu kaki siapa yang berada di lantai itu, karena wajahku selalu tertunduk saat berjalan.

Basa basi dari mulut bau nasi basi itu dimulai. Dan adegan selanjutnya sudah kutebak. Karena takut terlihat terlalu kasar dilihat orang lain, Aldo dan -entah- beberapa orang temannya menyeretku ke dalam toilet di lantai 3. Toilet ini milik anak kelas satu, dan saat kami memasukinya, beberapa anak lelaki yang sedang berada di dalamnya langsung berhamburan keluar. Hanya bau pesing itu yang tak bisa mengeluarkan diri. Terperangkat. Terjebak. Tak pernah sirna.

Basa basi kembali diulang. Dengan bahasan utama mengenai aku yang menendang kaki Aldo saat berjalan, berlanjut ke topik baru. Mereka bilang aku menantang mereka dengan tidak mau meminta maaf. Tangan-tangan setan itu mulai berani menyentuhku, mendorong tubuh, kepala dan beberapa tamparan sudah mendarat telak di pipiku.


Hari itu sepanas hatiku.

Biasanya aku hanya diam saja menerima pelecehan itu. Toh, mereka tidak pernah sampai meninggalkan bekas luka fisik yang serius padaku. Tapi tidak untuk kali itu. Setelah sebelumnya ibu menghukumku dengan tidak boleh membaca komik, yang merupakan hukuman atas keterlambatan pulangku minggu lalu. Padahal komik itu adalah teman sejatiku, mungkin lain kali aku akan ceritakan pada kalian tentang komik-komikku.

Suara mengeong itu mengejutkan kami semua yang berada di dalam ruangan sempit dan bau ini. Seekor kucing berjalan keluar dari salah satu bilik di toilet itu. Kucing itu kotor, basah bulunya, serta terlihat borok di sebagian badannya. Mereka menertawakanku dengan keras saat kucing itu mendekatiku dan mengelus-eluskan badannya dikakiku. Mereka bilang aku bahkan sama hinanya dengan kucing borokan itu. Mereka bilang aku ini layaknya borok bagi mereka. Aku bau, aku kotor, aku menjijikkan.

Diam dan mencoba mencerna sedikit demi sedikit kata mereka, kucing itu lalu aku gendong dan aku dekap mesra. Aku elus kepalanya, mereka tertawa. Aku gelitik kupingnya, mereka terbahak. Aku maju mendekati Aldo, mereka masih terbahak.

Aldo, Aldo, kamu boleh saja menjadi jagoan di sekolah ini.
Tapi apa kamu pernah membunuh?
Tapi apa kamu bisa membunuh?
Lalu apa kamu mau kubunuh?

Entah naskah mana yang kubaca, kalimat diatas mengalun lembut dan mendarat di kuping Aldo. Wajahnya geram, merah padam. Tak terima perkataanku, tangannya siapkan tenaga tuk memukulnya.

KRAK! Tangannya terhenti di udara, tertahan oleh rasa terkejutnya.

Apa kamu mau kubunuh?

Dan kalimat itu kembali terluncur dari mulutku. Kucing itu mengeong lemah, sisa tenaganya digunakan untuk menancapkan kuku-kuku tajamnya ke kulitku. Aku bahkan tak meringis. Dan perlahan-lahan mereka mundur menjauhiku, yang dengan tenangnya masih mengelus kucing sekarat itu, sementara lukaku perlahan alirkan darah.

APA KALIAN PERNAH MEMBUNUH?
tiba-tiba suaraku terdengar lebih keras dari sebelumnya.

JIKA BELUM PERNAH, SEBAIKNYA JANGAN. KARENA MEMBUNUH ITU ENAK!

dan...

PRANG! Kaca wastafel itu pecah. Meninggalkan bercak darah. Meninggalkan jejak ketakutan di wajah. Meninggalkan bekas yang jelas di ingatan mereka. Kucing itu tergeletak lemah di lantai. Kepalanya berdarah, lehernya parah, dan kematiannya telah menjadi bagian sejarah hidupku.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home