Monday, May 18, 2009

Sebuah Kisah Awan : Luka Mimpi [Kisah 8]

Aku terbangun dengan keringat yang masih membanjiriku. Mimpi masa lalu itu kembali. Badanku merinding menggigil. Kokok ayam itu menamparku, coba kembalikan kenyataanku.







Dari kalender di kamarku, aku tahu. Aku mengetahui bahwa sudah dua tahun aku berada disini. Pak Yusuf memberikan gudang di loteng rumahnya untuk kusulap menjadi kamar tidur. Tinggi langit-langit itu bahkan tidak lebih tinggi dari tinggiku. Sehingga aku harus menunduk selama di dalam kamar, tidak pernah bisa tegak berdiri. Pernah aku tersenyum sendiri mengingat ajaran ibuku dulu. Aku harus menggantung mimpiku setinggi-tingginya. Melebihi yang bisa aku bayangkan. Tapi bagaimana bisa menggantung mimpi setinggi langit jika langit-langit kamarku bisa kusentuh dengan keningku. Haha.

Ya, malam itu aku hilang entah berapa malam. Tersadar saat seorang tua berjanggut tipis tengah memberiku minum. Aku layaknya bayi yang baru terlahir. Terdiam dan tak berdaya. Wajah tua itu keras, tapi hangat terasa. Wajah tua itu tua, dan senyumnya sama sekali tidak terlihat ramah. Tapi bubur ayam itu hangat.

Aku membantunya selama dua tahun terakhir ini. Ah, tidak, tidak, ia yang membantuku selama dua tahun terakhir ini. Aku kembali bersekolah. Memang sekolah itu bukan sekolah hebat layaknya sekolahku sebelumnya. Tapi tidak ada Aldo disini. Haha! Sekolah baruku ini sebenarnya lebih buruk. Tapi tidak ada murid yang buruk disini. Mereka semua bagai robot, datang ke sekolah itu untuk nilai dan lulus.

Aku? Setelah lelah di sekolah, aku lalu menikmati peluhan keringat di keningku yang terjatuh sembari aku bekerja membantu Pak Yusuf. Bapak tua itu tidak banyak bicara. Dia hanya menatapku dan melemparkan sepotong baju untuk kupakai. Dan sejak saat itu aku bertahan di rumah itu. Walau sesekali ingatan masa lalu datang mengganggu. Aku tetap menikmati hari-hari baruku.

Tapi tidak kali ini. Dua tahun sudah aku jalani tanpa resah di hati sama sekali. Tapi kali ini berdesir sebuah rasa yang lama tidak timbul. Terkenang semua yang telah aku tinggalkan, terkenang semua yang telah aku lewatkan, terkenang semua kenangan. Kala itu, kala aku, kala waktuku, masa laluku.


Hujan sore ini mengingatkanku pada hujan sore itu. Saat aku terduduk termangu diam. Dingin akibat hujan membuatku bergidik. Ngeri dengan ketakutanku sendiri. Kelebatan kenangan seolah menghujam pikiranku. Haha. Sial! Semakin meracau aku tampaknya. Ketakutan ini hebat. Kuasai desir darah dan detak nadiku. Buat mereka semakin kacau. Dan ketika orkestra darah itu berdendang, seketika itu aku merinding.



***

Perutku berdetak cukup kencang. Lagi-lagi tengah malam itu aku tersentak. Mimpi tentang sesosok terbang itu terus menyerang malamku. Sejak aku kabur dari rumah saudara ibuku malam itu, aku selalu bermimpi buruk. Tentang sebuah sosok yang terbang melayang. Ada yang aneh di matanya, saat aku menatapnya, saat dia menatapku. Tapi aku tak tahu apa itu. Seolah aku menemukan mata yang hangat yang menatapku penuh rasa kasihan, tapi juga tak bisa menyentuhku barang sebentar. Seolah terikat duniaku dan dunianya, terpisah kita berdua. Seperti malaikat, bersinar putih, sesekali kelam. Matanya terus menatap. Dan aku tercekat kelam.


Pak Yusuf bilang kalau aku ini mirip dengan dirinya waktu muda. Liar dan nakal. Mataku tajam, bukan mata pecundang kalah. Itu kenapa dia mau membantuku. Tapi dia menyesal karena dulu tidak menyelesaikan sekolahnya, karena itu aku tidak boleh menyesal sama dengannya. Sekolahku harus selesai, setelah itu silahkan aku melompat lagi menikmati luasnya dunia. Walau aku tahu dia tidak tulus berkata itu, karena pantulan kaca di matanya berkata ingin terus dijaga olehku.


Disini aku belajar banyak hal. Pak Yusuf mengajari aku banyak hal. Tapi satu hal yang tidak dia ajarkan padaku, yaitu bagaimana aku harus menghadapi masa lalu kelamku. Semua itu menakutkan. Bahkan ketika harus menceritakan ketakutanku itu, aku kembali bergidik untuk yang kesekiankalinya. Aku tahu. Pak Yusuf juga punya masa lalu kelam. Dan ia berlari dari mereka. Itu kenapa aku mendengar isak tangis hampir setiap malam dari arah kamarnya. Bukan isakan cengeng, tapi isakan masa lalu yang kembali. Dan begitupun aku.

Luka lama itu terkuak kembali. Darah itu terhenti. Tapi kenangan itu mengalir deras. Aku menatap luka di hatiku dengan senyum getir. Perih itu bahkan tidak terasa kini. Mungkin setelah sekian kali terluka, pedih tidak lagi terasa. Aku menatap diriku di kaca, dan aku membenci bayanganku. Ia seolah menertawakan aku. Di ruangan ini, hanya dia yang tahu semua masa lalu. Sekuat apapun aku berusaha melupakannya, selama bayanganku tahu segalanya, aku yakin hidupku takkan pernah tenang. Sedih aku! Takut aku! Kukecam masa kelamku.

Kucoba baringkan tubuh kembali. Pejamkan mata. Tiba butuh waktu lama untuk langsung terlelap. Tubuhku lelah. Otakku menolak untuk tetap bekerja. Dan semenit kemudian kemudian, sosok terbang itu kulihat. Wajahnya kutatap.



Dan perlahan wajah malaikat itu kukenal. Matanya dekat. Aku dekap. Tatapannya erat. Senyumnya hangat. Malaikat Iblis itu Ibuku.


ilustrasi foto oleh model

Dan aku tersentak dari mimpi. Buruk. Ku.


Kokok ayam itu tampar keras lidah keluku.

Labels:

Sebuah Kisah Awan : MalaikatIblisKu [Kisah 7]

Aku kelelahan. Peluh itu berlarian berjatuhan. Dunia tak pernah seindah impian.
Bibirku berdarah, merah.



Aku melihat sesosok malaikat terbang. Entah dimana aku kini. Malaikat itu bersinar putih dan bercahayakan terang. Air wajahnya cerah, buat hati tenang menatapnya. Ia terseringai indah saat aku mendalami matanya. Kobaran api serasa panas. Meliuk indah.

Aku melihat sesosok malaikat terbang. Entah dimana aku kini. Malaikat itu bersinar hitam dan bercahayakan gelap. Air wajahnya suram, buat hati galau menatapnya. Ia tersenyum iblis saat aku mendalami matanya. Dingin layaknya salju beku. Teronggok diam.


Aku tersentak dari mimpi indahku. Asam terasa di lidahku. Keringatku terus berpeluh ria. Angin sialan mendobrak masuk jendela kamarku.

Kepalan tanganku berdarah, tembok putih itupun berdarah. Emosi tertiba memuncak tinggi. Katanya, kalau lagi emosi, bisa sampai ke ubun-ubun. Tapi rasanya itu tidak berlaku bagiku. Karena emosiku selalu memuncak di kepalan tanganku dan bermuara di darah lukaku.

Bahkan airmata yang kupaksa turun ini enggan menampakkan wujudnya. Wajahku sedih, begitu kata cerminku. Jiwaku ringkih, begitu kata cerminku. Aku tidak butuh cermin ajaib untuk bisa menjawab siapa orang yang tercantik di dunia. Cerminku ini lebih hebat. Dia bisa menggambarkan dengan jelas wajahku saat aku menatapnya. Cerminku jujur, tidak seperti hatiku yang bahkan tega membohongiku.

Bibirku berdarah, merah. Kusuka rasanya.

Luka kembali menganga. Membuka jalan keluar darah. Gigiku menggigit kuat daging tipis bibirku. Aku ternganga, lukaku tercengang. Aku meringis, lukaku menangis. Aku tertawa, lukaku parah. Dan pecahan cermin jujur itu menusuk kepalan tanganku.



***


Siang hari. Pak Fajar memanggilku ke ruangannya. Ia bertanya tentang aku dan Vika. Aku terkejut, tapi gorilla tua itu menyeringai bangga. Ia mengatakan tertarik dengan Vika. Ia menginginkan Vika. Dan karena ia tahu betapa dekat hubunganku dengan Vika, ia memintaku untuk membantunya. Ia tidak tahu bahwa sudah dua kali purnama ini aku tidak bertemu Vika. Aku tersenyum getir, ia kembali menyeringai. Dan bau bangkai itu terseruak muncul.



Aku mendengus pelan, mencoba membuang sisa darah di hidungku.



Entah sudah yang kesekian kalinya aku menekan tombol di telepon genggamku. Nomor yang anda hubungi sedang sibuk atau berada di luar jangkauan area, silahkan hubungi beberapa saat lagi, kata suara wanita bernada robot itu terus menerus. Dan ketika di nada dering yang kesekian kalinya, suara wanita bernada robot itu berubah menjadi wanita yang aku kenal. Vika.


Kental dan merah, asin. Semakin lama, semakin sering, semakin yakin aku bahwa aku menyukai rasa darahku.


Dan Vika tersenyum iblis ketika menemuiku beberapa jam setelah pembicaraan kami melalui telepon. Dan seringai bidadari keluar sesaat sebelum dia kembali melumat bibirku, melampiaskan emosi yang sudah beberapa minggu ini tertahan. Setidaknya emosiku yang tertahan. Dia anggun dengan ketelanjangannya. Dia liar dengan keringatnya. Dia bidadariku saat melenguh. Dia iblis saat ku dijambaknya. Dia Malaikat Iblisku.


Berbicara. Berbincang. Telanjang. Di atas ranjang. Dalam remang. Menuju temaram.

Berbicara tentang kehilangan. Berbincang tentang rencana kita. Telanjang dalam pelukan malam. Bebas menggeliat di atas ranjang. Kecupan di dalam remang. Menutup malam menuju temaram.

Ia tersenyum ketika tahu Pak Fajar menginginkannya. Ia tertawa lepas saat aku bercerita tentang bagaimana gorilla tua itu berubah menjadi orangutan bodoh saat mengharap aku membantunya. Vika menggelitik telapak kakiku ketika aku mengecup keningnya. Pelukannya hangat. Sebuah bisikan pelan meluncur menuju lubang telinganya. Rencanaku berjalan sempurna. Vika lagi-lagi memelukku. Dan ketika aku tengah menikmati hangat selimut dan tubuhnya, air liur dan peluh kami kembali bercampur dalam mimpi indah.

foto oleh : doroii

Labels:

Thursday, May 14, 2009

Sebuah Kisah Awan : Omega Alpha [Kisah 6]

Ketakutan itu mencekam
Aku tercekat, dalam kelam
dalam gelap
dalam usaha untuk tetap bernafas








Rintik hujan jatuh deras di kaca jendela kamarku. Selimutku dingin, begitu juga jari kakiku. Jantungku serasa malas berdetak, seolah dia tidak punya kewajiban untuk tetap berdetak. Otakku melambat, dan seraya menunggu perjalanan ke dunia mimpi kembali, ludahku tercekat oleh teriakan ibuku. Detak detik jam dinding membentuk sudut 180 derajat. Pukul 6 sore. Hari itu hari kamis.


Aldo tidak melaporkan kejadian di kamar mandi itu kepada siapapun, begitu juga lelaki-lelaki pengecut yang menjadi saksi siang itu. Pada guruku aku mengatakan lukaku berasal dari cakaran kucing. Toh, aku tidak berbohong. Dan karena kesal, kucing tak berdosa itu ku tangkap dan ku lempar. Hasilnya? Tanganku berdarah, kucing itu sekarat, Aldo menjauhiku, Aku hidup tenang di sekolah. Bisikan nanar terdengar lirih setiap kali aku melintasi Aldo ataupun teman-temannya, tapi menghilang begitu aku melempar pandangan ke arah mereka. Dan ibuku, yang saat ini tengah berdiri di depanku, kembali memarahiku karena darahku mengotori putih seragamku. Ia menyuruh aku mandi, sudah sore katanya. Dan aku melangkah gontai menurutinya.

Luka ini perih. Belum kering juga. Terhitung 2 sudah berlalu. Ibu bilang, jangan terkena air dulu lukaku. Terkadang ibuku bagai malaikat bagiku. Menjagaku. Merawatku. Dan membingungkanku. Bagaimana baiknya perhatiannya mengobati luka tanganku setelah beberapa menit sebelumnya dia membuat luka dalam dalam hatiku. Membalutnya dengan tenang, dan aku hanya menahan perih dan airmata.




Seminggu setelahnya, luka ditanganku kering. Hanya sisa nanah mengering yang tersisa. Kaca wastafel yang pecah pun sudah diganti yang baru. Aldo dan teman-teman masih menjauhiku. Dan saat aku berpikir untuk menikmati hari-hari ini, tiba sebuah kejutan bagiku. Hari kamis, ibu mengatakan kalau akhir pekan ini, aku harus menginap di rumah saudaraku. Saudaranya, maksudku. Ibu mendapat pekerjaan di luar kota, dan aku tidak mungkin ditinggal sendiri katanya. Membereskan baju, bersiap menginap di rumah saudara mungkin menyenangkan bagi anak seumuran aku. Tapi otakku terlalu tua 10 tahun rasanya. Karena disana aku hanya akan terdiam sendirian, dan saudara ibuku pun hanya akan sibuk dengan apa yang dia kerjakan.

Jumat pagi, aku sampai. Jumat siang, aku tidak makan. Aku lebih memilih mengurung diri tidur di kamar. Kepalaku panas. Jumat sore, aku mandi, aku terjatuh di kamar mandi, dan luka ditangan kembali bernanah. Jumat malam, panas tubuhku menyebar. Selimut itu tidak sukses menghangatkanku. Sabtu pagi, entah-siapa, seseorang, memberiku obat penurun panas. Sabtu siang, mereka berenang, aku meregang. Panas ini menyiksaku, tapi ke-masa-bodo-an saudara ibuku menyayatku. Sabtu sore, aku sendiri, gelas disampingku pecah saat aku berusaha merenggutnya dari atas meja. Keringatku deras bukan karena panas, tapi karena takut. Sabtu malam mereka pulang, aku menghilang.

Ketakutan itu mencekam
Aku tercekat, dalam kelam
dalam gelap
dalam usaha untuk tetap bernafas

Berjalan, tertatih langkahku. Panas badanku menggigilkan dingin malam itu. Entah dimana aku terjatuh tertidur, yang pasti aku terbangun karena luka bodoh di tangan itu kembali bernanah dan mengundang sepasukan lalat mencicipinya.

Dengan tubuh selemah ini, aku menggigil di pagi itu.
Akhir hariku. Awal hariku
Akhir duniaku. Awal duniaku
Omega selamat tinggal,
Selamat datang Alpha

Labels:

Sebuah Kisah Awan : Seharusnya Masih [Kisah 5]

Seorang teman pernah bertanya bagaimana aku dengan Vika?
"Seharusnya masih", hanya lirihan kalimat itu terlepas dari bibirku











Sudah dua bulan sejak malam liarku dengan Vika, dan selama seminggu berikutnya jugalah keliaran itu selalu ada setiap malamnya. Bagaimana semua lenguhan, rintihan, rasa sakit, kenikmatan dan keindahan dunia selalu ada tanpa dibalut rasa cinta. Tapi tidak empat minggu terakhir ini. Kamar kosanku kembali menjadi lokasi pembuangan penat dunia. Vika tidak ada kabarnya, aku pun tidak mengabarinya. Hubungan kami sebulan itu seolah bukan apa-apa, dan memang bukan apa-apa tampaknya. Dari awal kujelaskan, aku tidak bisa berbagi cintaku, mungkin ragaku saja yang bisa. Aku tidak bisa mencintainya tapi bersedia bercinta berkali-kali dengannya.

Seorang teman pernah bertanya bagaimana aku dengan Vika? Mengingat bagaimana aku dekat dengannya beberapa waktu lalu, seringnya aku mengantarnya pulang dengan sedan bututku itu, dan bagaimana Vika datang ke kantor memberi kejutan makan malam. "Seharusnya masih", hanya lirihan kalimat itu terlepas dari bibirku. Raut bingung tampak di wajah temanku. Aku tersenyum tanpa arti dan beban. Lalu meninggalkannya.

Seharusnya Masih
Ciptaan : Awan

Dan aku tersenyum tanpa arti
saat temanku bertanya tentang hati
milikku yang dulu milikmu
diriku yang dulu milikmu

Dan aku berlalu tanpa sakit di hati
saat temanku tanyakan semua ini
dirimu yang dulu milikku
diriku yang dulu milikmu



Reff:
Dan aku hanya bisa berlirih
"Seharusnya Masih"
karena tidak ada masalah antara kita

Dan aku hanya bisa berbisik
"Seharusnya Masih"
karena kita selalu bercanda penuh mesra

waktu dulu, waktu itu
waktu kini, seharusnya masih!



Ku lalu berbaring, letakkan buku kecil, bolpen dan gitarku di sisiku. Gitar itu dingin, sedingin suasana saat ini. Pandanganku nanar ke langit-langit, masih tak tahu apa yang terjadi. Mungkinkah trauma masa kecil yang antarkan aku menjadi ini. Temanku sukses menyentil hatiku, bertanya tentang Vika. Sungguh, wanita itu layaknya virus baru bagi seorang ilmuwan. Mereka harus menelitinya sedemikian rupa agar tahu segala macam sifatnya, mempelajarinya, dan menjinakkannya. Sayang aku tidak seberuntung itu untuk bisa mengerti virus yang satu ini. Banyak dari mereka yang singgah di hidupku, tapi tidak dihatiku. Datang dan hilang.

Dan seharusnya aku masih dengannya. Haha. Lama-lama pikiran ini membuatku gila. Terbang perlahan menuju masa dimana tiada cinta sama sekali dalam hariku. Dan dingin gitar itu menghangatkanku.

Labels:

Monday, February 16, 2009

Sebuah Kisah Awan : Jejak Darah Masa Lalu [Kisah 4]

PRANG! Dan kaca wastafel itu pecah. Meninggalkan bercak darah. Meninggalkan jejak ketakutan di wajah. Meninggalkan bekas yang jelas di ingatan mereka. Tentang siapa Awan yang selama ini mereka kenal.



Siang itu sepanas hatiku saat itu. Kerimbunan itu kucari, tapi gersang yang kutemukan.

Aldo, jagoan kelas tiga di sekolah itu merasa dia hidup di dunianya sendiri. Atau mungkin lebih tepat kusebut jika dia seolah memiliki seluruh sekolah ini berserta isinya. Dan itu berarti termasuk aku. Awan, pencundang kelas dua yang bahkan dibenci oleh teman satu angkatanku. Sekolah ini termasuk sekolah unggulan, murid-muridnya rata-rata cerdas. Tapi tak sedikit juga yang tidak. Mereka yang tidak cerdas itu kebanyakan masuk sekolah ini karena orangtua mereka kaya. Merasa bisa membayar, mereka lantas menganggap bisa membayar untuk apa saja. Termasuk harga diriku.

Kancing paling atas kemejaku copot. Dan itu berarti pulang nanti aku harus menjahitnya sebelum ibu melihatnya. Dan dimulai dari drama kakak-kelas-yang-minta-dihormati-dan-adik-kelas-yang-pecundang, maka dimulai juga babak demi babak kehidupanku siang itu. Kantin, tempat biasa para murid bergumul bersama setelah beberapa jam bosan duduk diam di kelas, menatap buku, papan tulis serta mendengarkan kicauan guru. Dan di dekat kantin itulah, koperasi sekolah berada.

Aku berada di dalam koperasi itu untuk melunasi hutangku. Hahaha, kecil-kecil kok sudah punya hutang. Salah satu kehebatan sekolahku adalah bagaimana cara mereka memeras, menipu, dan memaksa muridnya untuk terus mengeluarkan uang tanpa terlihat menjijikkan dimata orang diluar lingkungan sekolah. Salah satunya adalah dengan penegakan peraturan yang berlebihan. Hari Senin, siswa yang tidak membawa topi, harus memakai topi untuk upacara bendera. Satu-satunya jalan, ya membeli di koperasi. Dan minggu lalu topi sialan itu tidak terbawa di tasku, sehingga itu berarti uang jajanku berkurang untuk membayar topi baru itu.

Setelah lunas urusan uang dengan penjaga koperasi itu, aku harus melewati kantin untuk kembali ke kelasku. Disanalah surgaku selama jam istirahat. Tenang, diam, dan tidur menahan lapar sendirian di tempat dudukku. Dan tampaknya Sang Sutradara sudah memulai adegan baru untukku, saat aku menyeberangi kantin, tiba-tiba kerah bajuku ditarik, dan putuslah kancing kemejaku itu. Saat ku menengok ke belakang, wajah menyeringai Aldo telah menanti. Katanya aku menendang kakinya saat lewat. HEI, bahkan aku tak tahu kaki siapa yang berada di lantai itu, karena wajahku selalu tertunduk saat berjalan.

Basa basi dari mulut bau nasi basi itu dimulai. Dan adegan selanjutnya sudah kutebak. Karena takut terlihat terlalu kasar dilihat orang lain, Aldo dan -entah- beberapa orang temannya menyeretku ke dalam toilet di lantai 3. Toilet ini milik anak kelas satu, dan saat kami memasukinya, beberapa anak lelaki yang sedang berada di dalamnya langsung berhamburan keluar. Hanya bau pesing itu yang tak bisa mengeluarkan diri. Terperangkat. Terjebak. Tak pernah sirna.

Basa basi kembali diulang. Dengan bahasan utama mengenai aku yang menendang kaki Aldo saat berjalan, berlanjut ke topik baru. Mereka bilang aku menantang mereka dengan tidak mau meminta maaf. Tangan-tangan setan itu mulai berani menyentuhku, mendorong tubuh, kepala dan beberapa tamparan sudah mendarat telak di pipiku.


Hari itu sepanas hatiku.

Biasanya aku hanya diam saja menerima pelecehan itu. Toh, mereka tidak pernah sampai meninggalkan bekas luka fisik yang serius padaku. Tapi tidak untuk kali itu. Setelah sebelumnya ibu menghukumku dengan tidak boleh membaca komik, yang merupakan hukuman atas keterlambatan pulangku minggu lalu. Padahal komik itu adalah teman sejatiku, mungkin lain kali aku akan ceritakan pada kalian tentang komik-komikku.

Suara mengeong itu mengejutkan kami semua yang berada di dalam ruangan sempit dan bau ini. Seekor kucing berjalan keluar dari salah satu bilik di toilet itu. Kucing itu kotor, basah bulunya, serta terlihat borok di sebagian badannya. Mereka menertawakanku dengan keras saat kucing itu mendekatiku dan mengelus-eluskan badannya dikakiku. Mereka bilang aku bahkan sama hinanya dengan kucing borokan itu. Mereka bilang aku ini layaknya borok bagi mereka. Aku bau, aku kotor, aku menjijikkan.

Diam dan mencoba mencerna sedikit demi sedikit kata mereka, kucing itu lalu aku gendong dan aku dekap mesra. Aku elus kepalanya, mereka tertawa. Aku gelitik kupingnya, mereka terbahak. Aku maju mendekati Aldo, mereka masih terbahak.

Aldo, Aldo, kamu boleh saja menjadi jagoan di sekolah ini.
Tapi apa kamu pernah membunuh?
Tapi apa kamu bisa membunuh?
Lalu apa kamu mau kubunuh?

Entah naskah mana yang kubaca, kalimat diatas mengalun lembut dan mendarat di kuping Aldo. Wajahnya geram, merah padam. Tak terima perkataanku, tangannya siapkan tenaga tuk memukulnya.

KRAK! Tangannya terhenti di udara, tertahan oleh rasa terkejutnya.

Apa kamu mau kubunuh?

Dan kalimat itu kembali terluncur dari mulutku. Kucing itu mengeong lemah, sisa tenaganya digunakan untuk menancapkan kuku-kuku tajamnya ke kulitku. Aku bahkan tak meringis. Dan perlahan-lahan mereka mundur menjauhiku, yang dengan tenangnya masih mengelus kucing sekarat itu, sementara lukaku perlahan alirkan darah.

APA KALIAN PERNAH MEMBUNUH?
tiba-tiba suaraku terdengar lebih keras dari sebelumnya.

JIKA BELUM PERNAH, SEBAIKNYA JANGAN. KARENA MEMBUNUH ITU ENAK!

dan...

PRANG! Kaca wastafel itu pecah. Meninggalkan bercak darah. Meninggalkan jejak ketakutan di wajah. Meninggalkan bekas yang jelas di ingatan mereka. Kucing itu tergeletak lemah di lantai. Kepalanya berdarah, lehernya parah, dan kematiannya telah menjadi bagian sejarah hidupku.

Labels:

Wednesday, December 31, 2008

Goodbye and Welcome!



Selamat Tinggal 2008
Selamat Datang 2009

Selamat Tinggal Masa Lalu
Jadikan Pelajaran Indah Kala Lalu
Selamat Datang Dunia Baru
Siapkan Diri Tatap Indah Langit Biru


Happy New Year Everyone!!



Monday, December 01, 2008

dah ya sudahlah tampaknya lelah autis pemalas bodoh seringkali masuk

***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************

satu satu tarikan nafas itu berbunyi
lelah

sedikit sedikit udara itu terhirup
masuk

lemah jari ini ketikkan catatan akhir ini
sudahlah

entah demi apa aku mendadak hampa
tampaknya

mata itu melihat, otak ini tersekat
bodoh

bahkan enggan membuka mata
pemalas

doakan dunia seindah harap
autis!

mimpi itu indah
ya

kenyataan itu sakit
seringkali

selamat bersenang senang
dah!

***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************
***************************************************************

Tuesday, November 18, 2008

Menghilang Sementara.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxx




Mohon doa temens semua.
Gw lagi ada masalah cukup gaswat
yang bikin gw ga bisa onlen dulu sementara,
sampe masalah ini selese

karena gw musti konsen ngeberesin masalah satu ini dulu
abis itu baru bisa idup kembali di dunia maya ini
buat yang mau bantu, bisa mengirimkan pulsa ke no gw


ga denk, gw becanda
tapi klo ada yang mau ngirim beneran juga gpp :p


sekali lagi gw harus pamid
mohon mangap klo ada saleh kate yee

muah muah dahh...

Tuesday, November 04, 2008

Kisah Tentang Awan : Berisik, Alkohol, Kilat, Adrenaline dan Libido [Kisah 3]

Seminggu berlalu sudah sejak hari ulang tahun Awan. Dan seperti biasa, ia masih terjebak di rutinitas yang monoton. Tapi kali ini ada yang beda. Sesuatu yang akan membawa perubahan dalam masa depannya, sesuatu yang berakar dari masa lalunya.



****
DUM DUM DUM DUM DUM
Dentaman suara bass itu liar dan tak terkendali. Kepalaku pusing, tapi bukan oleh suara bising itu. Melainkan oleh alkohol bajingan yang malah membuatku semakin haus setiap kali meneguknya. Raga penuh liuran keringat itu juga menjadi penambah rasa pusingku. Warna warni kilat lampu membuatku memicingkan mata. Dan tubuhku membuat wanita-wanita ini semakin liar padaku.

Perkenalkan, yang bergaun ketat merah ini bernama Icha, entah itu nama sebenarnya atau tidak, tapi itu yang diteriakkannya tadi sambil menjilat kupingku. Wanita pendek yang terus menerus meneguk gelas minumannya yang tak habis-habis ini bernama Vonny, dan aku sudah tak suka padanya sejak pertama bersalamanan dengannya. Vika, gadis yang aku yakin sudah tak gadis lagi ini yang cukup menarik perhatianku. Balutan busana dengan warna kesukaanku, rambut ikal panjang hitam legam, tubuh semampai dan senyum nakalnya cukup sudah menjadi alasanku tetap berada ditempat itu.

Ah, bodohnya aku. Aku lupa memberitahu kalian. Cunrad yang mengundang kami semua kesini. Aku, Pak Fajar bos divisi ku, Fanny sekretarisnya, Bambang, rekan satu cubicle ku, beberapa rekan dari divisi lain dan tentu saja, beberapa orang rekan wanita Cunrad. Yang tiga orang diantaranya sudah aku perkenalkan di atas. Mengapa hanya tiga? Sebab hanya Icha dan Vonny yang terus dengan niatnya menggeliat pada tubuhku, dan Vika yang menjadi penghalang rencana pulangku.

Sebenarnya aku enggan, berada disana, melihat rahasia umum kantorku, dimana lelaki berperut buncit itu tak ada bosannya terus memakan bibir tipis Fanny. Ah, Pak Fajar memang tidak ambil peduli dengan semua itu. Toh istrinya juga tidak pernah mau tahu. Karena mungkin saja disaat yang bersamaan istrinya tengah melenguh, bermandikan peluh dan desah. Aku malas berada ditempat itu, suara bising itu kasar bagi kupingku. Merobek-robek. Mencabik-cabik. Dan mataku perih tertusuk kilat cahaya sialan itu.

Tapi Vika berhasil memikatku. Bahkan saat aku berbicara pada Cunrad selaku tuan rumah, mengenai rencanaku pulang, senyuman dan hembusan nafasnya di pipiku membuatku mengurungkan niatku. Bahkan saat tangannya menarik tanganku untuk sedikit menjauh dari kerumunan, aku pun menurut. Ia minta ditemani ke toilet, katanya. Sambil menunggu di depan toilet, pemandangan beragam kutemui, mulai dari wajah-wajah pucat ingin muntah, wanita yang keluar toilet dengan baju berantakan dan berjalan sempoyongan, hingga dua laki-laki bergandengan mesra. Dan ditengah dunia baru itu, bisikkan Vika terdengar lagi.

Aku harus mendekatkan kupingku pada bibirnya, hanya untuk meminta dia mengulang perkataannya. Tapi bahkan setelah aku cukup jelas mendengarnya, aku tetap meminta dia mengulanginya. Aku takut salah dengar. Apa benar dia tadi bilang kalau dia ingin membunuh? Ah, alkohol itu semakin buatku bodoh. Tapi perkataan dia setelah itu benar-benar mengejutkanku. Dia menyebut nama Fanny! Dan dia mengatakan ingin membunuhnya. Ah, kerjasama alkohol, adrenaline, sakit mata, haus, hingga libido ternyata bisa membuatku gila.



****
Dan siang itu aku menemukan diriku terbangun dalam keadaan bugil. Dan seseorang berambut panjang pulas dalam selimutnya disebelahku. Ruangan itu kecil, tapi cukup besar untuk sebuah kasur berukuran sedang, lemari baju, meja rias, kamar mandi dan tentu saja menyelundupkan seorang pria. Hah, aku baru sadar! Saat Vika terbangun dan memelukku. Ia lalu dengan langkah gontai membuka lemarinya dan memakai sebuah kaos bergambarkan si karakter bodoh Spongebob lengkap dengan warna kuningnya. Kepalaku terasa masih tertinggal di tempat tadi malam. Kupingku masih berdenging ria. Dan dari semua yang kurasakan tadi malam, hanya libidoku yang menghilang entah kemana.

Kalimat pembukaan dari Vika seolah menamparku. Ia memintaku membantunya membunuh Fanny. Whatthef*ck? Ia mengatakan kalau dia ingin Pak Fajar menjadi pacarnya, agar semua kebutuhannya bisa terpenuhi. Dan aku? Aku akan menjadi pacarnya, untuk membantu dia menghabiskan uang dari Pak Fajar, dan tentu saja membantu dia menyelesaikan libidonya. Ia sudah menyiapkan rencana, dan aku yang akan melakukannya. Dijabarkan satu-satu rencananya.

Aku tersenyum, rencana itu terlalu bodoh. Aku punya rencana lebih baik! Dan segera kujelaskan semuanya padanya, Layaknya mengarang sebuah permainan, aku membuat rencana pembunuhan itu layaknya sesuatu yang sangat seru dan sayang untuk dilewatkan. Terlihat dari wajahnya, Vika terkejut mendengar semuanya. Dan entah mengapa aku menikmati itu. Seolah dilempar kembali ke kenangan lama, dimana aku pertama kali menumpahkan darah dengan tanganku sendiri.

Labels: