Thursday, May 14, 2009

Sebuah Kisah Awan : Omega Alpha [Kisah 6]

Ketakutan itu mencekam
Aku tercekat, dalam kelam
dalam gelap
dalam usaha untuk tetap bernafas








Rintik hujan jatuh deras di kaca jendela kamarku. Selimutku dingin, begitu juga jari kakiku. Jantungku serasa malas berdetak, seolah dia tidak punya kewajiban untuk tetap berdetak. Otakku melambat, dan seraya menunggu perjalanan ke dunia mimpi kembali, ludahku tercekat oleh teriakan ibuku. Detak detik jam dinding membentuk sudut 180 derajat. Pukul 6 sore. Hari itu hari kamis.


Aldo tidak melaporkan kejadian di kamar mandi itu kepada siapapun, begitu juga lelaki-lelaki pengecut yang menjadi saksi siang itu. Pada guruku aku mengatakan lukaku berasal dari cakaran kucing. Toh, aku tidak berbohong. Dan karena kesal, kucing tak berdosa itu ku tangkap dan ku lempar. Hasilnya? Tanganku berdarah, kucing itu sekarat, Aldo menjauhiku, Aku hidup tenang di sekolah. Bisikan nanar terdengar lirih setiap kali aku melintasi Aldo ataupun teman-temannya, tapi menghilang begitu aku melempar pandangan ke arah mereka. Dan ibuku, yang saat ini tengah berdiri di depanku, kembali memarahiku karena darahku mengotori putih seragamku. Ia menyuruh aku mandi, sudah sore katanya. Dan aku melangkah gontai menurutinya.

Luka ini perih. Belum kering juga. Terhitung 2 sudah berlalu. Ibu bilang, jangan terkena air dulu lukaku. Terkadang ibuku bagai malaikat bagiku. Menjagaku. Merawatku. Dan membingungkanku. Bagaimana baiknya perhatiannya mengobati luka tanganku setelah beberapa menit sebelumnya dia membuat luka dalam dalam hatiku. Membalutnya dengan tenang, dan aku hanya menahan perih dan airmata.




Seminggu setelahnya, luka ditanganku kering. Hanya sisa nanah mengering yang tersisa. Kaca wastafel yang pecah pun sudah diganti yang baru. Aldo dan teman-teman masih menjauhiku. Dan saat aku berpikir untuk menikmati hari-hari ini, tiba sebuah kejutan bagiku. Hari kamis, ibu mengatakan kalau akhir pekan ini, aku harus menginap di rumah saudaraku. Saudaranya, maksudku. Ibu mendapat pekerjaan di luar kota, dan aku tidak mungkin ditinggal sendiri katanya. Membereskan baju, bersiap menginap di rumah saudara mungkin menyenangkan bagi anak seumuran aku. Tapi otakku terlalu tua 10 tahun rasanya. Karena disana aku hanya akan terdiam sendirian, dan saudara ibuku pun hanya akan sibuk dengan apa yang dia kerjakan.

Jumat pagi, aku sampai. Jumat siang, aku tidak makan. Aku lebih memilih mengurung diri tidur di kamar. Kepalaku panas. Jumat sore, aku mandi, aku terjatuh di kamar mandi, dan luka ditangan kembali bernanah. Jumat malam, panas tubuhku menyebar. Selimut itu tidak sukses menghangatkanku. Sabtu pagi, entah-siapa, seseorang, memberiku obat penurun panas. Sabtu siang, mereka berenang, aku meregang. Panas ini menyiksaku, tapi ke-masa-bodo-an saudara ibuku menyayatku. Sabtu sore, aku sendiri, gelas disampingku pecah saat aku berusaha merenggutnya dari atas meja. Keringatku deras bukan karena panas, tapi karena takut. Sabtu malam mereka pulang, aku menghilang.

Ketakutan itu mencekam
Aku tercekat, dalam kelam
dalam gelap
dalam usaha untuk tetap bernafas

Berjalan, tertatih langkahku. Panas badanku menggigilkan dingin malam itu. Entah dimana aku terjatuh tertidur, yang pasti aku terbangun karena luka bodoh di tangan itu kembali bernanah dan mengundang sepasukan lalat mencicipinya.

Dengan tubuh selemah ini, aku menggigil di pagi itu.
Akhir hariku. Awal hariku
Akhir duniaku. Awal duniaku
Omega selamat tinggal,
Selamat datang Alpha

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home