Monday, May 18, 2009

Sebuah Kisah Awan : Luka Mimpi [Kisah 8]

Aku terbangun dengan keringat yang masih membanjiriku. Mimpi masa lalu itu kembali. Badanku merinding menggigil. Kokok ayam itu menamparku, coba kembalikan kenyataanku.







Dari kalender di kamarku, aku tahu. Aku mengetahui bahwa sudah dua tahun aku berada disini. Pak Yusuf memberikan gudang di loteng rumahnya untuk kusulap menjadi kamar tidur. Tinggi langit-langit itu bahkan tidak lebih tinggi dari tinggiku. Sehingga aku harus menunduk selama di dalam kamar, tidak pernah bisa tegak berdiri. Pernah aku tersenyum sendiri mengingat ajaran ibuku dulu. Aku harus menggantung mimpiku setinggi-tingginya. Melebihi yang bisa aku bayangkan. Tapi bagaimana bisa menggantung mimpi setinggi langit jika langit-langit kamarku bisa kusentuh dengan keningku. Haha.

Ya, malam itu aku hilang entah berapa malam. Tersadar saat seorang tua berjanggut tipis tengah memberiku minum. Aku layaknya bayi yang baru terlahir. Terdiam dan tak berdaya. Wajah tua itu keras, tapi hangat terasa. Wajah tua itu tua, dan senyumnya sama sekali tidak terlihat ramah. Tapi bubur ayam itu hangat.

Aku membantunya selama dua tahun terakhir ini. Ah, tidak, tidak, ia yang membantuku selama dua tahun terakhir ini. Aku kembali bersekolah. Memang sekolah itu bukan sekolah hebat layaknya sekolahku sebelumnya. Tapi tidak ada Aldo disini. Haha! Sekolah baruku ini sebenarnya lebih buruk. Tapi tidak ada murid yang buruk disini. Mereka semua bagai robot, datang ke sekolah itu untuk nilai dan lulus.

Aku? Setelah lelah di sekolah, aku lalu menikmati peluhan keringat di keningku yang terjatuh sembari aku bekerja membantu Pak Yusuf. Bapak tua itu tidak banyak bicara. Dia hanya menatapku dan melemparkan sepotong baju untuk kupakai. Dan sejak saat itu aku bertahan di rumah itu. Walau sesekali ingatan masa lalu datang mengganggu. Aku tetap menikmati hari-hari baruku.

Tapi tidak kali ini. Dua tahun sudah aku jalani tanpa resah di hati sama sekali. Tapi kali ini berdesir sebuah rasa yang lama tidak timbul. Terkenang semua yang telah aku tinggalkan, terkenang semua yang telah aku lewatkan, terkenang semua kenangan. Kala itu, kala aku, kala waktuku, masa laluku.


Hujan sore ini mengingatkanku pada hujan sore itu. Saat aku terduduk termangu diam. Dingin akibat hujan membuatku bergidik. Ngeri dengan ketakutanku sendiri. Kelebatan kenangan seolah menghujam pikiranku. Haha. Sial! Semakin meracau aku tampaknya. Ketakutan ini hebat. Kuasai desir darah dan detak nadiku. Buat mereka semakin kacau. Dan ketika orkestra darah itu berdendang, seketika itu aku merinding.



***

Perutku berdetak cukup kencang. Lagi-lagi tengah malam itu aku tersentak. Mimpi tentang sesosok terbang itu terus menyerang malamku. Sejak aku kabur dari rumah saudara ibuku malam itu, aku selalu bermimpi buruk. Tentang sebuah sosok yang terbang melayang. Ada yang aneh di matanya, saat aku menatapnya, saat dia menatapku. Tapi aku tak tahu apa itu. Seolah aku menemukan mata yang hangat yang menatapku penuh rasa kasihan, tapi juga tak bisa menyentuhku barang sebentar. Seolah terikat duniaku dan dunianya, terpisah kita berdua. Seperti malaikat, bersinar putih, sesekali kelam. Matanya terus menatap. Dan aku tercekat kelam.


Pak Yusuf bilang kalau aku ini mirip dengan dirinya waktu muda. Liar dan nakal. Mataku tajam, bukan mata pecundang kalah. Itu kenapa dia mau membantuku. Tapi dia menyesal karena dulu tidak menyelesaikan sekolahnya, karena itu aku tidak boleh menyesal sama dengannya. Sekolahku harus selesai, setelah itu silahkan aku melompat lagi menikmati luasnya dunia. Walau aku tahu dia tidak tulus berkata itu, karena pantulan kaca di matanya berkata ingin terus dijaga olehku.


Disini aku belajar banyak hal. Pak Yusuf mengajari aku banyak hal. Tapi satu hal yang tidak dia ajarkan padaku, yaitu bagaimana aku harus menghadapi masa lalu kelamku. Semua itu menakutkan. Bahkan ketika harus menceritakan ketakutanku itu, aku kembali bergidik untuk yang kesekiankalinya. Aku tahu. Pak Yusuf juga punya masa lalu kelam. Dan ia berlari dari mereka. Itu kenapa aku mendengar isak tangis hampir setiap malam dari arah kamarnya. Bukan isakan cengeng, tapi isakan masa lalu yang kembali. Dan begitupun aku.

Luka lama itu terkuak kembali. Darah itu terhenti. Tapi kenangan itu mengalir deras. Aku menatap luka di hatiku dengan senyum getir. Perih itu bahkan tidak terasa kini. Mungkin setelah sekian kali terluka, pedih tidak lagi terasa. Aku menatap diriku di kaca, dan aku membenci bayanganku. Ia seolah menertawakan aku. Di ruangan ini, hanya dia yang tahu semua masa lalu. Sekuat apapun aku berusaha melupakannya, selama bayanganku tahu segalanya, aku yakin hidupku takkan pernah tenang. Sedih aku! Takut aku! Kukecam masa kelamku.

Kucoba baringkan tubuh kembali. Pejamkan mata. Tiba butuh waktu lama untuk langsung terlelap. Tubuhku lelah. Otakku menolak untuk tetap bekerja. Dan semenit kemudian kemudian, sosok terbang itu kulihat. Wajahnya kutatap.



Dan perlahan wajah malaikat itu kukenal. Matanya dekat. Aku dekap. Tatapannya erat. Senyumnya hangat. Malaikat Iblis itu Ibuku.


ilustrasi foto oleh model

Dan aku tersentak dari mimpi. Buruk. Ku.


Kokok ayam itu tampar keras lidah keluku.

Labels:

Sebuah Kisah Awan : MalaikatIblisKu [Kisah 7]

Aku kelelahan. Peluh itu berlarian berjatuhan. Dunia tak pernah seindah impian.
Bibirku berdarah, merah.



Aku melihat sesosok malaikat terbang. Entah dimana aku kini. Malaikat itu bersinar putih dan bercahayakan terang. Air wajahnya cerah, buat hati tenang menatapnya. Ia terseringai indah saat aku mendalami matanya. Kobaran api serasa panas. Meliuk indah.

Aku melihat sesosok malaikat terbang. Entah dimana aku kini. Malaikat itu bersinar hitam dan bercahayakan gelap. Air wajahnya suram, buat hati galau menatapnya. Ia tersenyum iblis saat aku mendalami matanya. Dingin layaknya salju beku. Teronggok diam.


Aku tersentak dari mimpi indahku. Asam terasa di lidahku. Keringatku terus berpeluh ria. Angin sialan mendobrak masuk jendela kamarku.

Kepalan tanganku berdarah, tembok putih itupun berdarah. Emosi tertiba memuncak tinggi. Katanya, kalau lagi emosi, bisa sampai ke ubun-ubun. Tapi rasanya itu tidak berlaku bagiku. Karena emosiku selalu memuncak di kepalan tanganku dan bermuara di darah lukaku.

Bahkan airmata yang kupaksa turun ini enggan menampakkan wujudnya. Wajahku sedih, begitu kata cerminku. Jiwaku ringkih, begitu kata cerminku. Aku tidak butuh cermin ajaib untuk bisa menjawab siapa orang yang tercantik di dunia. Cerminku ini lebih hebat. Dia bisa menggambarkan dengan jelas wajahku saat aku menatapnya. Cerminku jujur, tidak seperti hatiku yang bahkan tega membohongiku.

Bibirku berdarah, merah. Kusuka rasanya.

Luka kembali menganga. Membuka jalan keluar darah. Gigiku menggigit kuat daging tipis bibirku. Aku ternganga, lukaku tercengang. Aku meringis, lukaku menangis. Aku tertawa, lukaku parah. Dan pecahan cermin jujur itu menusuk kepalan tanganku.



***


Siang hari. Pak Fajar memanggilku ke ruangannya. Ia bertanya tentang aku dan Vika. Aku terkejut, tapi gorilla tua itu menyeringai bangga. Ia mengatakan tertarik dengan Vika. Ia menginginkan Vika. Dan karena ia tahu betapa dekat hubunganku dengan Vika, ia memintaku untuk membantunya. Ia tidak tahu bahwa sudah dua kali purnama ini aku tidak bertemu Vika. Aku tersenyum getir, ia kembali menyeringai. Dan bau bangkai itu terseruak muncul.



Aku mendengus pelan, mencoba membuang sisa darah di hidungku.



Entah sudah yang kesekian kalinya aku menekan tombol di telepon genggamku. Nomor yang anda hubungi sedang sibuk atau berada di luar jangkauan area, silahkan hubungi beberapa saat lagi, kata suara wanita bernada robot itu terus menerus. Dan ketika di nada dering yang kesekian kalinya, suara wanita bernada robot itu berubah menjadi wanita yang aku kenal. Vika.


Kental dan merah, asin. Semakin lama, semakin sering, semakin yakin aku bahwa aku menyukai rasa darahku.


Dan Vika tersenyum iblis ketika menemuiku beberapa jam setelah pembicaraan kami melalui telepon. Dan seringai bidadari keluar sesaat sebelum dia kembali melumat bibirku, melampiaskan emosi yang sudah beberapa minggu ini tertahan. Setidaknya emosiku yang tertahan. Dia anggun dengan ketelanjangannya. Dia liar dengan keringatnya. Dia bidadariku saat melenguh. Dia iblis saat ku dijambaknya. Dia Malaikat Iblisku.


Berbicara. Berbincang. Telanjang. Di atas ranjang. Dalam remang. Menuju temaram.

Berbicara tentang kehilangan. Berbincang tentang rencana kita. Telanjang dalam pelukan malam. Bebas menggeliat di atas ranjang. Kecupan di dalam remang. Menutup malam menuju temaram.

Ia tersenyum ketika tahu Pak Fajar menginginkannya. Ia tertawa lepas saat aku bercerita tentang bagaimana gorilla tua itu berubah menjadi orangutan bodoh saat mengharap aku membantunya. Vika menggelitik telapak kakiku ketika aku mengecup keningnya. Pelukannya hangat. Sebuah bisikan pelan meluncur menuju lubang telinganya. Rencanaku berjalan sempurna. Vika lagi-lagi memelukku. Dan ketika aku tengah menikmati hangat selimut dan tubuhnya, air liur dan peluh kami kembali bercampur dalam mimpi indah.

foto oleh : doroii

Labels:

Thursday, May 14, 2009

Sebuah Kisah Awan : Omega Alpha [Kisah 6]

Ketakutan itu mencekam
Aku tercekat, dalam kelam
dalam gelap
dalam usaha untuk tetap bernafas








Rintik hujan jatuh deras di kaca jendela kamarku. Selimutku dingin, begitu juga jari kakiku. Jantungku serasa malas berdetak, seolah dia tidak punya kewajiban untuk tetap berdetak. Otakku melambat, dan seraya menunggu perjalanan ke dunia mimpi kembali, ludahku tercekat oleh teriakan ibuku. Detak detik jam dinding membentuk sudut 180 derajat. Pukul 6 sore. Hari itu hari kamis.


Aldo tidak melaporkan kejadian di kamar mandi itu kepada siapapun, begitu juga lelaki-lelaki pengecut yang menjadi saksi siang itu. Pada guruku aku mengatakan lukaku berasal dari cakaran kucing. Toh, aku tidak berbohong. Dan karena kesal, kucing tak berdosa itu ku tangkap dan ku lempar. Hasilnya? Tanganku berdarah, kucing itu sekarat, Aldo menjauhiku, Aku hidup tenang di sekolah. Bisikan nanar terdengar lirih setiap kali aku melintasi Aldo ataupun teman-temannya, tapi menghilang begitu aku melempar pandangan ke arah mereka. Dan ibuku, yang saat ini tengah berdiri di depanku, kembali memarahiku karena darahku mengotori putih seragamku. Ia menyuruh aku mandi, sudah sore katanya. Dan aku melangkah gontai menurutinya.

Luka ini perih. Belum kering juga. Terhitung 2 sudah berlalu. Ibu bilang, jangan terkena air dulu lukaku. Terkadang ibuku bagai malaikat bagiku. Menjagaku. Merawatku. Dan membingungkanku. Bagaimana baiknya perhatiannya mengobati luka tanganku setelah beberapa menit sebelumnya dia membuat luka dalam dalam hatiku. Membalutnya dengan tenang, dan aku hanya menahan perih dan airmata.




Seminggu setelahnya, luka ditanganku kering. Hanya sisa nanah mengering yang tersisa. Kaca wastafel yang pecah pun sudah diganti yang baru. Aldo dan teman-teman masih menjauhiku. Dan saat aku berpikir untuk menikmati hari-hari ini, tiba sebuah kejutan bagiku. Hari kamis, ibu mengatakan kalau akhir pekan ini, aku harus menginap di rumah saudaraku. Saudaranya, maksudku. Ibu mendapat pekerjaan di luar kota, dan aku tidak mungkin ditinggal sendiri katanya. Membereskan baju, bersiap menginap di rumah saudara mungkin menyenangkan bagi anak seumuran aku. Tapi otakku terlalu tua 10 tahun rasanya. Karena disana aku hanya akan terdiam sendirian, dan saudara ibuku pun hanya akan sibuk dengan apa yang dia kerjakan.

Jumat pagi, aku sampai. Jumat siang, aku tidak makan. Aku lebih memilih mengurung diri tidur di kamar. Kepalaku panas. Jumat sore, aku mandi, aku terjatuh di kamar mandi, dan luka ditangan kembali bernanah. Jumat malam, panas tubuhku menyebar. Selimut itu tidak sukses menghangatkanku. Sabtu pagi, entah-siapa, seseorang, memberiku obat penurun panas. Sabtu siang, mereka berenang, aku meregang. Panas ini menyiksaku, tapi ke-masa-bodo-an saudara ibuku menyayatku. Sabtu sore, aku sendiri, gelas disampingku pecah saat aku berusaha merenggutnya dari atas meja. Keringatku deras bukan karena panas, tapi karena takut. Sabtu malam mereka pulang, aku menghilang.

Ketakutan itu mencekam
Aku tercekat, dalam kelam
dalam gelap
dalam usaha untuk tetap bernafas

Berjalan, tertatih langkahku. Panas badanku menggigilkan dingin malam itu. Entah dimana aku terjatuh tertidur, yang pasti aku terbangun karena luka bodoh di tangan itu kembali bernanah dan mengundang sepasukan lalat mencicipinya.

Dengan tubuh selemah ini, aku menggigil di pagi itu.
Akhir hariku. Awal hariku
Akhir duniaku. Awal duniaku
Omega selamat tinggal,
Selamat datang Alpha

Labels:

Sebuah Kisah Awan : Seharusnya Masih [Kisah 5]

Seorang teman pernah bertanya bagaimana aku dengan Vika?
"Seharusnya masih", hanya lirihan kalimat itu terlepas dari bibirku











Sudah dua bulan sejak malam liarku dengan Vika, dan selama seminggu berikutnya jugalah keliaran itu selalu ada setiap malamnya. Bagaimana semua lenguhan, rintihan, rasa sakit, kenikmatan dan keindahan dunia selalu ada tanpa dibalut rasa cinta. Tapi tidak empat minggu terakhir ini. Kamar kosanku kembali menjadi lokasi pembuangan penat dunia. Vika tidak ada kabarnya, aku pun tidak mengabarinya. Hubungan kami sebulan itu seolah bukan apa-apa, dan memang bukan apa-apa tampaknya. Dari awal kujelaskan, aku tidak bisa berbagi cintaku, mungkin ragaku saja yang bisa. Aku tidak bisa mencintainya tapi bersedia bercinta berkali-kali dengannya.

Seorang teman pernah bertanya bagaimana aku dengan Vika? Mengingat bagaimana aku dekat dengannya beberapa waktu lalu, seringnya aku mengantarnya pulang dengan sedan bututku itu, dan bagaimana Vika datang ke kantor memberi kejutan makan malam. "Seharusnya masih", hanya lirihan kalimat itu terlepas dari bibirku. Raut bingung tampak di wajah temanku. Aku tersenyum tanpa arti dan beban. Lalu meninggalkannya.

Seharusnya Masih
Ciptaan : Awan

Dan aku tersenyum tanpa arti
saat temanku bertanya tentang hati
milikku yang dulu milikmu
diriku yang dulu milikmu

Dan aku berlalu tanpa sakit di hati
saat temanku tanyakan semua ini
dirimu yang dulu milikku
diriku yang dulu milikmu



Reff:
Dan aku hanya bisa berlirih
"Seharusnya Masih"
karena tidak ada masalah antara kita

Dan aku hanya bisa berbisik
"Seharusnya Masih"
karena kita selalu bercanda penuh mesra

waktu dulu, waktu itu
waktu kini, seharusnya masih!



Ku lalu berbaring, letakkan buku kecil, bolpen dan gitarku di sisiku. Gitar itu dingin, sedingin suasana saat ini. Pandanganku nanar ke langit-langit, masih tak tahu apa yang terjadi. Mungkinkah trauma masa kecil yang antarkan aku menjadi ini. Temanku sukses menyentil hatiku, bertanya tentang Vika. Sungguh, wanita itu layaknya virus baru bagi seorang ilmuwan. Mereka harus menelitinya sedemikian rupa agar tahu segala macam sifatnya, mempelajarinya, dan menjinakkannya. Sayang aku tidak seberuntung itu untuk bisa mengerti virus yang satu ini. Banyak dari mereka yang singgah di hidupku, tapi tidak dihatiku. Datang dan hilang.

Dan seharusnya aku masih dengannya. Haha. Lama-lama pikiran ini membuatku gila. Terbang perlahan menuju masa dimana tiada cinta sama sekali dalam hariku. Dan dingin gitar itu menghangatkanku.

Labels: