Sebuah Kisah Awan : Luka Mimpi [Kisah 8]
Dari kalender di kamarku, aku tahu. Aku mengetahui bahwa sudah dua tahun aku berada disini. Pak Yusuf memberikan gudang di loteng rumahnya untuk kusulap menjadi kamar tidur. Tinggi langit-langit itu bahkan tidak lebih tinggi dari tinggiku. Sehingga aku harus menunduk selama di dalam kamar, tidak pernah bisa tegak berdiri. Pernah aku tersenyum sendiri mengingat ajaran ibuku dulu. Aku harus menggantung mimpiku setinggi-tingginya. Melebihi yang bisa aku bayangkan. Tapi bagaimana bisa menggantung mimpi setinggi langit jika langit-langit kamarku bisa kusentuh dengan keningku. Haha.
Ya, malam itu aku hilang entah berapa malam. Tersadar saat seorang tua berjanggut tipis tengah memberiku minum. Aku layaknya bayi yang baru terlahir. Terdiam dan tak berdaya. Wajah tua itu keras, tapi hangat terasa. Wajah tua itu tua, dan senyumnya sama sekali tidak terlihat ramah. Tapi bubur ayam itu hangat.
Aku membantunya selama dua tahun terakhir ini. Ah, tidak, tidak, ia yang membantuku selama dua tahun terakhir ini. Aku kembali bersekolah. Memang sekolah itu bukan sekolah hebat layaknya sekolahku sebelumnya. Tapi tidak ada Aldo disini. Haha! Sekolah baruku ini sebenarnya lebih buruk. Tapi tidak ada murid yang buruk disini. Mereka semua bagai robot, datang ke sekolah itu untuk nilai dan lulus.
Aku? Setelah lelah di sekolah, aku lalu menikmati peluhan keringat di keningku yang terjatuh sembari aku bekerja membantu Pak Yusuf. Bapak tua itu tidak banyak bicara. Dia hanya menatapku dan melemparkan sepotong baju untuk kupakai. Dan sejak saat itu aku bertahan di rumah itu. Walau sesekali ingatan masa lalu datang mengganggu. Aku tetap menikmati hari-hari baruku.
Tapi tidak kali ini. Dua tahun sudah aku jalani tanpa resah di hati sama sekali. Tapi kali ini berdesir sebuah rasa yang lama tidak timbul. Terkenang semua yang telah aku tinggalkan, terkenang semua yang telah aku lewatkan, terkenang semua kenangan. Kala itu, kala aku, kala waktuku, masa laluku.
Hujan sore ini mengingatkanku pada hujan sore itu. Saat aku terduduk termangu diam. Dingin akibat hujan membuatku bergidik. Ngeri dengan ketakutanku sendiri. Kelebatan kenangan seolah menghujam pikiranku. Haha. Sial! Semakin meracau aku tampaknya. Ketakutan ini hebat. Kuasai desir darah dan detak nadiku. Buat mereka semakin kacau. Dan ketika orkestra darah itu berdendang, seketika itu aku merinding.
***
Perutku berdetak cukup kencang. Lagi-lagi tengah malam itu aku tersentak. Mimpi tentang sesosok terbang itu terus menyerang malamku. Sejak aku kabur dari rumah saudara ibuku malam itu, aku selalu bermimpi buruk. Tentang sebuah sosok yang terbang melayang. Ada yang aneh di matanya, saat aku menatapnya, saat dia menatapku. Tapi aku tak tahu apa itu. Seolah aku menemukan mata yang hangat yang menatapku penuh rasa kasihan, tapi juga tak bisa menyentuhku barang sebentar. Seolah terikat duniaku dan dunianya, terpisah kita berdua. Seperti malaikat, bersinar putih, sesekali kelam. Matanya terus menatap. Dan aku tercekat kelam.
Pak Yusuf bilang kalau aku ini mirip dengan dirinya waktu muda. Liar dan nakal. Mataku tajam, bukan mata pecundang kalah. Itu kenapa dia mau membantuku. Tapi dia menyesal karena dulu tidak menyelesaikan sekolahnya, karena itu aku tidak boleh menyesal sama dengannya. Sekolahku harus selesai, setelah itu silahkan aku melompat lagi menikmati luasnya dunia. Walau aku tahu dia tidak tulus berkata itu, karena pantulan kaca di matanya berkata ingin terus dijaga olehku.
Disini aku belajar banyak hal. Pak Yusuf mengajari aku banyak hal. Tapi satu hal yang tidak dia ajarkan padaku, yaitu bagaimana aku harus menghadapi masa lalu kelamku. Semua itu menakutkan. Bahkan ketika harus menceritakan ketakutanku itu, aku kembali bergidik untuk yang kesekiankalinya. Aku tahu. Pak Yusuf juga punya masa lalu kelam. Dan ia berlari dari mereka. Itu kenapa aku mendengar isak tangis hampir setiap malam dari arah kamarnya. Bukan isakan cengeng, tapi isakan masa lalu yang kembali. Dan begitupun aku.
Luka lama itu terkuak kembali. Darah itu terhenti. Tapi kenangan itu mengalir deras. Aku menatap luka di hatiku dengan senyum getir. Perih itu bahkan tidak terasa kini. Mungkin setelah sekian kali terluka, pedih tidak lagi terasa. Aku menatap diriku di kaca, dan aku membenci bayanganku. Ia seolah menertawakan aku. Di ruangan ini, hanya dia yang tahu semua masa lalu. Sekuat apapun aku berusaha melupakannya, selama bayanganku tahu segalanya, aku yakin hidupku takkan pernah tenang. Sedih aku! Takut aku! Kukecam masa kelamku.
Kucoba baringkan tubuh kembali. Pejamkan mata. Tiba butuh waktu lama untuk langsung terlelap. Tubuhku lelah. Otakku menolak untuk tetap bekerja. Dan semenit kemudian kemudian, sosok terbang itu kulihat. Wajahnya kutatap.
Dan perlahan wajah malaikat itu kukenal. Matanya dekat. Aku dekap. Tatapannya erat. Senyumnya hangat. Malaikat Iblis itu Ibuku.
Dan aku tersentak dari mimpi. Buruk. Ku.
Kokok ayam itu tampar keras lidah keluku.
Labels: sebuah kisah awan